Di tempat saya bekerja alfatihah.com di sediakan makan siang untuk karyawan. Berhubung saya tinggal di asrama dan jadi santri magang. Saya dapat jatah makan 3x sehari.
Tapi sebetulnya saya cuma makan 2x sehari saja. Bisa jadi itu karena selama saya bekerja di outlet atau counter hp saya jarang makan.
Malas beli.
Dari sana lah saya mulai menerapkan sarapan orang barat. Makan hanya pakai roti diimbangi dengan teh atau kopi. Tapi lebih sering tidak sarapan sama sekali.
Malas bikin.
Tapi beberapa hari belakangan. Saya mulai sarapan pagi. Perubahan ini tentunya ada klausal-klausalnya.
Salah satunya mungkin karena ibu masak yang bertugas masak di dapur itu sudah diganti.
Lebih muda dan segar memang dibandingkan yang lalu. Tapi tentunya bukan hanya karena ibu masak kali ini lebih cocok dipanggil mbak. sungguh...
Melainkan menu sarapannya yang berbeda. Jika ibu masak yang lama menyiapkan sarapan dari menu makan siang. Artinya dua kali makan saya memakan lauk yang sama. Mbak Novi (ibu masak yang baru) membuat nasi goreng untuk santri magang.
Perbedaan semacam ini melahirkan ghirah saya untuk sarapan.
Selain itu juga melihat dapur yang bersih dan minim bau campuran makanan yang kurang sedap (seperti sebelum-sebelumnya) juga menjelaskan hal itu.
Ya. Bagi saya yang penting dari masakan tidak melulu tampilan dan rasa. Ada faktor lain yang bikin saya mood untuk makan. Kebersihan.
Saya rasa anda juga begitu. Seenak apapun masakannya, jika dapurnya berantakan dan kurang bersih, apalagi tercium bau yang kurang sedap. Nafsu makan bakal berkurang.
Setiap perubahan yang kita rasakan memang dipicu oleh hal-hal yang selama ini kurang mengenakkan. Itulah yang disebut revolusi.
Saya menyebut fenomena kali ini revolusi busung lapar.
Meski begitu, pola hidup saya belum juga membaik. Tapi bisa saja perbedaan sederhana ini, bisa jadi sangat berarti bukan?
Err
