Mencoba Mengerti Arus Mudik dari Jembatan Tol

Ihsanul Fikri
0

Saat perjalanan pulang dari bukber tadi, kami mampir ke sebuah jembatan penghubung antara Beringin dan Gondoriyo. Dibawah jembatan tersebut terpampang lalu-lalang kendaraan. Ya, tepat dibawahnya adalah jalan tol. 

Baru kali ini saya memperhatikan jalan tol dari ketinggian. Dimana saya bukan termasuk pemudik di dalam mobil. Melainkan hanya pengamat dadakan, dari jauh. Saya gak sendirian, karena ternyata banyak juga yang singgah ke sana untuk melihat lalu-lalang di jalan tol. Bahkan ada yang memang meniatkan untuk kesini tiap hari.

Disinilah saya berkenalan dengan dua bocah lelaki yang diantar oleh bapaknya untuk melihat jalan tol setiap malam sejak tanggal 27 April lalu. Sebut saja, Rian dan Ghani. Dua bocah pemalu itu amat antusias dan penuh perhatian. Kepada bapaknya ia banyak bertanya. Apakah isi terpal yang berada diatas mobil, kemanakah bus itu akan menuju dan mengapa tak banyak truk yang biasanya mereka lihat dan sebagainya.

Untunglah bapaknya banyak menjawab. Ia dengan suka hati menjelaskan berbagai hal kepada dua bocah itu.

Dengan rasa penasaran, saya juga ikut bertanya. Mengapa hanya satu jalur yang digunakan. Mengapa tidak ada jalur yang menuju barat, ke arah Jakarta saat itu.

Ternyata itulah yang disebut arus mudik. Jalan tol Semarang-Solo dari arah Jakarta terpantau padat. Sehingga jalur dari tol Cikampek-Kalikangkung dikhususkan untuk ke arah timur hingga jam 00.00 tengah malam.

Saya kira. Arus ke Jakarta lah yang padat. Ternyata bukan. Sebab perantau yang merantau di Jakarta, Depok, Bekasi atau Tanggerang akan mudik ke Jawa Tengah, Jawa Timur, Madura dan daerah timur lainnya.

Ini terjadi karena saya tinggal di Sumatera Barat. Dimana arus mudik berasal dari Jakarta.

"Makanya, sekarang Jakarta sepi. Banyak yang susah nyari makan karena penjual sudah pada mudik." Ucap Bapak Rian dan Ghani.

Ia pun menimpali, sebelum saya sempat mengomentari. "Yang saya kagum dari arus mudik ini. Saya gak pernah abis pikir. Kemana saja mobil sebanyak ini akan pulang,"

"Saya kesini sama anak udah sejak tanggal 27 kemaren. Bukannya tanbah sepi. Sekarang malam tambah rame," ucapnya. Saya lagi-lagi cuma mengangguk. Tertegun.

Dalam hati kecil ini, saya juga ingin mudik. Tapi saya terlalu berkecil pulang. Layaknya di jembatan tol ini. Pagar besi serapuh itu, ketinggian yang tak seberapa. Membuat Semarang-Padang yang sudah jauh. Semakin jauh. 

Posting Komentar

0 Komentar
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.
Posting Komentar (0)
Our website uses cookies to enhance your experience. Learn More
Accept !