Bagaimana "Pak Tuk" Mempermainkan Khayalan Kita

Ihsanul Fikri
0

Banyak drama menuju sebuah desa. Seperti menghitung jejak kaki pada ban motor yang kami naiki, serupa laju kendaraan yang tak dapat dihimpun oleh dua bola mata ini.

"Helm, barangkali hanya pelindung batok kepala dari surat tilang yang serta dengan dompet lapar polisi"

Kami sempat (ditilang) dan aku jadi ingat...

Si kesayangan pernah bilang: hanya di negeri-negeri miskin pakpol berbadan buncit marak memalak. Aku mengamini tapi tidak kali ini. Semarang cukup kaya. Mungkin polisinya saja yang tak sejahtera.

Lupakan polisi, di kala asik menyisir jalan Mranggen-Demak. Saya terhenyak oleh dua kali kesempatan melihat kedai makan bertuliskan "Bakso Sapi Pak Tuk"

Bayangan saya dan mungkin sebagian orang Minang tentang "Pak Tuk" adalah bapak-bapak yang bergelar Datuk atau menamai dirinya dengan sebutan Datuk. 

"Ketek banamo, gadang bagala/kecil bernama, besarnya bergelar". Dari adagium ini, setidaknya kita punya 2 khayalan sosok Pak Datuk dalam masyarakat Minangkabau.

Pertama, ia adalah yang dipertuan di acara perhelatan atau kenduri yang biasa ditulis di cerpen. Kedua, mereka yang punya kedai kopi dan di laci mejanya ada buku panduan togel. 

Keduanya, berperawakan sama. Barangkali sudah beruban, senantiasa berpeci dan selalu membawa tusuk gigi bekas jika hendak merokok setelah habis makan.

Tapi entah bagaimana jadinya lah khayalan saya tentang "Pak Tuk" di Jawa. Mungkin ia bernama Tukiman atau Tukijan. Lalu perawakannya? Entah.

Semoga bisa mampir di kesempatan yang sempat bukan yang sempit macam tadi, hanya sekedar lewat...


Posting Komentar

0 Komentar
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.
Posting Komentar (0)
Our website uses cookies to enhance your experience. Learn More
Accept !