Saya tentu bangga, dengan masyarakat Minangkabau dan keteguhan hati mereka menolak Rendang Babi.
Orang yang tak mengerti bilang, bahwa Rendang sudah jadi sebuah agama nan di agamakan.
Padahal ini bukan masalah politik layaknya menolak banteng merah dan Megawati. Apalagi gengsi karena Rendang faging yang halal sudah jadi nomor satu sedunia–versi sebuah majalah.
Tapi berita nasi uduk babi ini seolah berusaha membuka mata kita. Dimanakah toleransi orang Minang? Dimanakah kerendahan hati mereka?
Saya kira, orang Minang juga tidak salah. Bagi mereka ini bukan lagi persolan mengisi perut. Tapi menyangkut akidah–keislaman mereka dan rendang adalah satu rintang-perintang dalam perjalanannya..
Bukan sebuah kontroversi atau kompetisi. Respon terhadap rendang babi dan nasi uduk babi adalah kontemplasi tiap orang, tiap kita. Dan semua akan terjawab oleh cara kita menghormati setiap perbedaan yang timbul karenanya.